Pengelolaan Dana Haji Jadi Sorotan: Masa Tunggu 49 Tahun, Solusi Didorong
Jakarta – Universitas Paramadina bersama Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menggelar diskusi publik bertajuk “Pengelolaan Dana Haji Berkeadilan di Investasi Surat Berharga BPKH.” Forum ini turut melibatkan sejumlah kampus mitra, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Tazkia, dan UNIDA Gontor. Diskusi berlangsung secara luring di Trinity Tower, Kampus Paramadina, Jakarta.
Acara yang dimoderatori oleh Wakil Rektor Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza Idris, ini menghadirkan sejumlah tokoh penting untuk membahas isu strategis seputar tata kelola dana haji yang kini mencapai ratusan triliun rupiah.
Dalam sambutannya, Prof. Nur Hidayah, Ph.D. menekankan bahwa pengelolaan dana haji bukan sekadar soal administratif, tetapi menyangkut amanah spiritual, sosial, dan konstitusional negara terhadap umat. Ia mempertanyakan apakah dana yang besar itu akan dibiarkan pasif atau justru dikelola secara produktif dengan prinsip syariah, keadilan, dan keberlanjutan.
H. Marwan Dasopang, Ketua Komisi VIII DPR RI, mengungkap fakta mengkhawatirkan terkait masa tunggu haji yang di beberapa wilayah mencapai 49 tahun. Bahkan, dari lebih 4.000 calon jemaah berusia di atas 91 tahun, hanya 1.000 orang yang diberangkatkan.
“Sudah waktunya BPKH menimbang investasi langsung, seperti membangun hotel atau infrastruktur pendukung di Arab Saudi,” ujarnya.
Sementara itu, Chief Investment Officer BPKH, H. Indra Gunawan, menjelaskan bahwa pihaknya saat ini mengelola dana haji sebesar Rp171 triliun, dengan pendapatan hingga Juli 2025 mencapai Rp11,4 triliun dari target tahunan Rp12 triliun.
“Kami menargetkan imbal hasil 10%, namun tetap menjaga prinsip syariah dan akuntabilitas dalam setiap pengelolaan,” jelasnya.
Ia juga memaparkan inovasi layanan seperti e-wallet jamaah dan sistem cicilan setoran awal yang sedang dikembangkan demi mendorong transparansi dan memperkuat kepercayaan publik terhadap BPKH.
Dalam forum yang sama, H. Abdul Hakam Naja menyoroti penerapan Kartu Nusuk di Arab Saudi sebagai bentuk digitalisasi pelayanan haji. Ia menekankan bahwa jamaah tanpa kartu tersebut tidak akan bisa berhaji, sehingga strategi jangka panjang BPKH perlu diarahkan ke investasi sektor riil di Saudi.
Tak hanya itu, ia juga mengingatkan soal ketentuan fatwa MUI bahwa dana manfaat hasil investasi tidak boleh digunakan sebagai subsidi. Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada pembaruan tata kelola yang berlandaskan prinsip kehati-hatian dan syariah.
Menutup forum, Dr. Handi Risza mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan sistem pengelolaan dana haji yang profesional, adil, dan sesuai prinsip syariah.
“Dana ini adalah amanah umat. Sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaganya dengan penuh integritas,” pungkasnya.**
